Oleh: Kadarisman

(Sahabat Safari Jum’at Almarhum)

Teringat akan kisah Nabi Ibrahim AS. Nabi yang saleh dan sering dipuji Allah di dalam kitab Al Qur’an. Satu hari Nabiyullah tersebut didatangi malaikat Izrail. Pesuruh Allah yang punya tugas mencabut nyawa setiap makhluk. Kepada Ibrahim, Izrail mengatakan maksud kedatangannya, diperintah Allah agar mencabut nyawanya. Lantas apa kita Ibrahim?

“Nanti dulu wahai Izrail. Kekasih manakah yang tega mengambil nyawa kekasihnya?” tanya Ibrahim kepada Izrail. Tak mampu malaikat menjawab itu, hingga kemudian Allah menjawab pertanyaaan Nabi Nya: “Kekasih manakah yang tidak ingin berjumpa dengan kekasihnya?” Maka kemudian Nabi Ibrahim meminta dengan segera Izrail melakukan tugasnya, agar secepatnya berjumpa ia dengan kekasihnya.

Kematian datang kepada Nabi Ibrahim. Kematian juga datang kepada siapapun yang bernyawa tanpa kecuali sebagaimana janji Allah di dalam Al Quran; bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.

Kematian adalah fitrah hidup. Ia dimaknai sebagai jalan cinta, jalan perjumpaan. Tidak dibiarkan Nya makhluk mengawang-awang hingga ada sebutan lain selain hidup dan mati. Allah yang menghidupkan dan mematikan. Tak peduli apapun tingkat kesalehan hamba atau setinggi apapun jabatan manusia maka akan kembali kepada jalan kematian itu. Allah sediakan jalan pulang tanpa kecuali, karena memang dari Nyalah makhluk berasal dan kepada Nya tempat kembali.

Kematian adalah puncak perjalanan kehidupan di dunia. Tak dapat tidak dikatakan tidak beruntung yang telah pergi itu, karena jelas dan tampak saudaranya, sahabatnya, kawannya datang dengan buntalan doa yang khusuk. Entahlah jika kita yang mendapat giliran kematian itu, adakah yang sudi memhadiahkan doa dan mengenangkan kebaikan-kebaikan kita.

Insya Allah, almarhum Herman Susilo Husnul khatimah. Dua tahun terakhir, almarhum adalah pribadi yang baru dalam pandangan banyak orang. Di beberapa kali kesempatan bertemu kerap saya dapati kalimat-kalimat hikmah darinya. Satu ketika saya pernah berkunjung ke rumahnya. Bertanya saya khabar dan keadaanya ketika itu.

“Alhamdulillah, saya sudah lebih sehat. Saya sekarang berubah. Insya Allah terus belajar menjadi lebih baik. Pak Risman boleh tanya isteriku, tak pernah saya marah lagi sekarang,” ucap almarhum ketika itu dan diamini oleh isterinya.

Sekira dua minggu sebelum meninggal berjumpa juga saya dengan almarhum di sebuah warung. “Pak Risman, sekarang kalau ada orang yang suka marah, sayalah yang menjauh. Dengan begitu lebih dekat dengan sabar,” jelasnya.

Saya tertegun dengan kata-kata itu. Angah Herman yang dikenal dengan keunikannya itu benar-benar menjelma sebagai sosok yang berubah di ujung-ujung waktunya. Perubahan itu keputusannya. Ia memilih jalan cinta hingga Ia mendekap taqdirnya untuk kembali lebih dulu daripada kita.

Padahal jika boleh mengira, beliau mestinya berpulang di dua tahun lalu. Di ketika berbulan bulan didera sakit. Berbulan-bulan dirawat, karena komplikasi akut. Keluar masuk rumah sakit lalu Allah sembuhkan. Padahal beberapa penyakit diborong.

Tapi mengejutkan kemudian, sore Selasa kemarin, khabar yang datang, beliau telah berpulang. Tak ada khabar sakit, karena seminggu lalu sempat nyeruput teh hangat bersama di lobi sebuah hotel, sehat walafiat.

Mutlaklah, Allah semata pemilik rahasia, kapan waktu perjumpaan itu tiba. Tak ada hal apapun yang mampu mempercepat atau menunda barang sedetik jua. Sakit yang parah atau apa yang dikisahkan, “baru saja kemarin ketemu,” sesaat ke depan tiada seorang pun tahu saat mana kita berpisah.

Selamat jalan Angah Herman. Sahabat di banyak perjalanan safari Jumat. Bergerilya ke kampung-kampung bersafari salat Jumat bertahun tahun bersama Almarhum KH Rasyidi, H Syurkati, Ustad Fahmi, H Muhammad Ismail, Husin Nafarin dan lainnya.

Sungguh Allah Maha Menepati janji. Jika kini kau kembali, bahwa siapapun yang tinggal sekarang, semua akan menempuh jalan yang sama. Husnul khotimah wahai pribadi ahsanu taqwim. ***