Oleh: Kadarisman

Panaan, satu desa yang secara administratif berada di Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Desa Panaan adalah legenda yang tak terjamah modernitas pembangunan di ketika bangsa ini sudah ramai berbicara era 4.0. Panaan benar-benar adalah legenda marginalitas.

Panaan edentik sebagai desa dengan jalan medan berat. Tak ada aspal di desa ini. Sebagian besar akses jalan darat lebih bergantung kepada jalan milik perusahaan pemanfaatan hasil hutan.

Ada banyak kisah benang kusut ketika berbicara infrastruktur di desa itu. Tetapi puncak kekusutan bukanlah tentang benturan regulasi, tetapi ketiadaan goodwill mengakomodir desa itu layak sejajar dengan desa-desa lainnya.

Kenyataan ini bukan berarti desa ini luput dari sentuhan pemerintahan di daerah. Karena memang buktinya ada banyak output kebijakan pemerintah daerah mengikhtiarkan kesejajaran desa Panaan.

Ada solar sell yang jadi bahan penerangan di sana lengkap dengan jaringannya, tetapi belakangan ini battrai nya sudah tidak lagi berfungsi. Ada banyak fasilitas publik lain yang berfungsi, tetapi keterisoliran masih menjadi tantangan pembangunan di desa Panaan.

Mengunjungi Panaan mesti lebih aman jika memutar lewat provinsi tetangga, Kalimantan Tengah. Lebih jauh, tetapi lebih cepat sampai. Ada jalur yang lebih pendek, melalui Kecamatan Bintang Ara itu sendiri, namun lebih lama sampainya. Jalur yang bisa ditempuh hanya sebatas Desa Meho. Dari desa ini ke Panaan masih berjarak 15 kilo meter, tapi hanya bisa dilalui oleh sarana off road.

Panaan dihuni sedikitnya oleh 300 kepala keluarga. Kehidupannya bergantung pada hasil alam. Air bersih mengandalkan sungai pegunungan yang pengolahannya dilakukan secara swadaya masyarakat. Airnya jernih segar. Tetapi akan keruh bila ditimpa hujan.

Namun dibalik marginalitas Desa Panaan, tersimpan eksotisme yang melampaui potensi wisata yang dimiliki oleh desa manapun di kabupaten ini. Air terjun tangkum 1 hingga tangkum 3 menawarkan objek yang memukau. Boleh jadi marginalitas Panaan adalah ditujukan untuk menjaga kerahasiaan kekayaan alamnya yang sangat besar.

Panaan miliki objek alam yang layak dijual kepada wisatawan. Hanya saja, potensi itu belum dielaborasi secara sungguh-sungguh. Padahal pelancong yang datang saban pekan, terlebih Sabtu dan Minggu.

Sampai kapan Panaan dibalut keterisoliran? Entahlah. Jawabanya boleh jadi sangat rumit. Alasan tubrukan regulasi pusat dan daerah yang kemudian dibenturkan dengan wilayah tata ruang seolah menjadi benang kusutnya. Tetapi tak ada regulasi yang dapat dibuat oleh pemerintah tanpa kemudian dapat diperbaharui.

Semuanya dimulai dari adanya goodwill dan kemampuan mensinergikan upaya secara masif supaya kebijakan dapat dikomunikasikan kemudian untuk memberikan outcome kepada masyarakat, entitas yang memiliki kedaulatan atas pemerintahan. Tak boleh ada yang putus asa***