MANGGARAI BARAT, metro7.co.id – Kepala Desa Nggorang, Abubakar Sidik menegaskan, proyek pembangunan Shelter/rumah Insinerator (tempat limbah sampah khusus rumah sakit) dibangun di atas lahan sengketa.

“Memang tanah lokasi proyek ini masih saling klaim antara ulayat Nggorang dengan KPH Mabar. Kami masih sedang memperjuangkan untuk dikembalikan kepada masyarakat ulayat Nggorang.
Belum ada jawabannya. Tiba-tiba muncul proyek KLHK,” terang Kades Abubakar saat dikonfirmasi metro7.co.id di rumahnya, Sabtu (1/11/2020).

Dia mengatakan, kehadiran proyek KLHK itu tanpa sepengetahuannya dan masyarakat setempat.

“Di tengah kita perjuangan tanah ini muncul proyek ini. Kami minta klarifikasi dan sosialisasi dulu. Karena proyek ini tanpa diketahui oleh Pemerintah Desa, fungsionaris adat Nggorang dan masyarakat,” kata Abubakar.

Sebelumnya, lanjut dia, Pemerintah Desa bersama fungsionaris adat Nggorang telah mendatangi Bupati, Dinas Kehutanan dan DPRD Manggarai Barat untuk memperjuangkan tanah tersebut dikembakikan kepada masyarakat. Tapi sampai saat ini belum ada jawabannya.

“Kami bagi tanah ini pada tahun 1990. Yang hadir saat itu Camat Komodo, fungsionaris adat Nggorang, Pemerintah Desa dan masyarakat. Kami bagi dari Wae Kuse sampai ujung Kampung Generasi Nggorang dengan ukuran 16 x100 meter per orang,” ujarnya.

Namun demikian, pada 1993 Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai (saat itu) mengembangkan PAL secara sepihak tanpa diketahui Pemerintah Desa masyarakat Nggorang.

“Sesuai kondisi waktu itu kami tidak tahu bahwa ada pengembangan PAL tahun 1993 setelah tanah itu dibagi tahun 1990. Sampai saat ini kami belum dapat SK pengembangan PAL itu. Kalau memang PAL dikembangkan, mana SK-nya. Siapa yang menyerahkan tanah itu kepada pemerintah. Dari fungsionaris adatnya atas nama siapa? Pemerintah Desa atas nama siapa? Atas nama masyarakat siapa?. Kami minta kejelasannya. Kalau misalnya jelas, mungkin kami stop ambil alih. Tapi kalau tidak ada kejelasan maka kami ambil jadi lahan masyarakat,” bebernya.

Sementara itu, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kabupaten Manggarai Barat, Stefanus Nali menjelaskan, proyek tersebut dibangun dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi.

“Ia, Pak. Lokasi tersebut berada dalam kawasan hutan, Nggorang Bowosie (RTK 108) dengan fungsi hutan produksi
Tetapi sesuai tata batas, itu dalam kawasan hutan negara,” kata Stef.

Terpisah, Kades Abubakar menerangkan, kawasan hutan RTK 108 Bowosie itu klaim sepihak. Nama asli lokaai itu, kata dia, Sebelumbya nama lokasi itu lingko Ceko Ndekar dan lingko Wae Muse sampai Lokang Tete dan Puar Bete, sebelah MP penggelingan batu.

“Nama Bowosie itu baru tahun 1993. Nama Bowosie bukan kami. Kami tidak tahu dasarnya apa? RTK 108 kami tidak tahu. Sebelumnya nama lokasi itu lingko Ceko Ndekar dan lingko Wae Muse sampai Lokang Tete dan Puar Bete sebelah MP penggelingan batu. Ini lokasi ulayat Masyarakat adat Nggorang,” tandasnya.

Kades Abubakar menambahkan, PAL Belanda batasnya hanya sampai di Wae Kuse hingga kawasan Satar Kudi.

“Yang kami tahu, PAL Belanda itu batasnya di Wae Kuse ke atas Sedangkan Satar Kudi, Golo Kadung itu memang dalam kawasan hutan negara yang sejak berabad abad usianya.
Tapi kalau Wae Kuse ke arah Nggorang, tidak. Apalagi lokasi pembangunan rumah limbah sampah ini. Itu di atas tanah milik bapak Gabariel Gual. Buktinya banyak pohon nangka tumbuh besar si lokasi tersebut,” ujarnya.

Menanggapi Kades Nggorang, Kepala KPH Mabar, Stef Nali lebih jauh menerangkan, klaim seperti yang disampaikan Kades Nggorang perlu ditindaklanjuti dengan membuat permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan.*