Oleh: Kadarisman

(Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong)

Poster seksis pada aksi Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Jakarta dan HMI, BEM STIA, BEM STIT di Tanjung Tabalong beberapa waktu lalu tidak hanya sukses memaksa Presiden Joko Widodo membuat pernyataan tegas, tidak menunda pemilu 2024, tapi juga sukses memancing buzzer keluar dari tahtanya.

Aksi mahasiswa itu tidak saja mampu menegaskan dirinya sebagai kalangan masyarakat intelek, tapi juga mampu menjadi perpanjangan tangan Tuhan di dalam terminologi sebuah negara yang berasaskan demokrasi.

Turun ke jalan itu merupa simbol dari puncak ketidak yakinan rakyat kepada wakilnya di DPR RI dan DPRD, sehingga mahasiswa menjadikan jalanan sebagai extra parlementer yang tidak kalah pengaruhnya dalam formulasi kebijakan pemerintah.

Sukses aksi extra parlamenter ini berbuntut “serangan” balik kepada mahasiswa. Poster-poster mereka disayangkan karena mengeksploitasi seksisme. Dikatakan isi poster beraroma vulgar dan menjadi noda dalam kegiatan itu. Ada upaya menutupi isu penting rakyat yang disuarakan mahasiswa dengan isi sampelan seksisme.

Tulisan-tulisan di poster seperti: “Lebih baik bercinta 3 kali dari pada 3 periode”, “Cukup aku aja yang mahal, BBM jangan”, “Dari pada BBM yang naik, lebih baik ayank yang naik”, sama sekali bukan sebuah seksisme. Seksisme sendiri diartikan sebagai sebuah prasangka atau diskriminasi berdasarkan gender seseorang.

Pada kata dan frase itu tidak ada yang vulgar. Hendak dimaknai secara denotatif atau pun secara konotatif, pada hasilnya tetap tidak ditemukan ungkapan vulgar, kecuali pikiran seseorang isinya lebih didominasi file seksisme itu sendiri.

Isi kepala akan menggiring seseorang menerjemahkan sesuatu kepada apa isi pikirannya sendiri. Persoalan sejatinya bukan pada poster yang mahasiswa bawa dengan kata-kata nya yang kreatif itu, tapi pada pikiran itu sendiri telah “kotor”.

Suara seksisme itu hanya serupa serangan balik yang bersumber dari pihak yang tidak jelas, termasuk kelompok buzzer yang juga tidak mengemuka. Namun yang pasti bukan kelompok gender tertentu.

Laksana kentut, baunya tercium tapi tak jelas yang kentut siapa, kelompok buzzer bayaran yang mana. Kalau bicara buzzer bayaran, tak usah disebut publik juga tahu, karena yang kuasa memberi anggaran itu bukan siapa-siapa, kecuali yang terafiliasi dengan kekuasaan.

Sudut pandang dan paradigma memaknai poster mahasiswa itu sebagai seksisme menarik dibahas, agar pemaknaan ini menerangkan sekaligus menegaskan di mana buah pikiran kita berdiri dan di sudut kepentingan siapa kita ada.

Namun apapun sudut kepentinganya, frasa, klausa dan kalimat yang mahasiswa tuliskan di poster-poster tersebut dapat kita tinjau dari sudut netral, yakni bahasa sastra.

Dalam sastra, tulisan merupakan kumpulan klausa dan kalimat yang mengandung majas-majas tertentu.

Setiap tulisan dalam bentuk klausa atau pun kalimat mesti pula dilihat konteks inti yang dimetaforakan melalui kalimat – kalimat konotatif.

Pada ungkapan “Dari pada BBM yang naik, lebih baik ayank yang naik” ini misalnya, mahasiswa menggunakan majas metonimia sebagai satir kepada penguasa bukan kepada kelompok gender.

Frase “ayang yang naik” harus dapat dimaknai dalam konteks yang selaras dan relevan dengan pergerakkan itu sendiri. Bukan dimaknai pada ruang dan waktu yang berbeda sehingga dapat memberikan makna yang tidak relevan.

Bisa jadi makna tersirat adalah, “Dari pada BBM yang naik, lebih baik rakyat yang berkuasa.”

Memaknai sesuatu di luar konteks di mana sesuatu itu ditujukan hanya menegaskan sebuah personal experience yang bermukim di dalam kepala seseorang. Dan itu tidak mungkin tidak.

Jadi, penggunaan majas di dalam bentuk tulisan dan poster apapun yang mahasiswa bawa di aksi Aliansi BEM SI, termasuk juga aksi yang digelar oleh HMI, BEM STIA, BEM STIT dan masyarakat di Tabalong beberapa waktu lalu bukan sebuah seksisme, tapi sebuah pesan moral dalam wujud majas kepada penguasa! Tambahe lage.