Oleh: Sil Joni*

Mesin pembangunan mulai menderu di Pulau Rinca, salah satu pulau di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK). Tekat pemerintah pusat (pempus) sudah bulat. Tak ada lagi pihak yang bisa menghentikan pelaksanaan agenda pembangunan geo-park di habitat asli binatang purba, Komodo dan pelbagai satwa endemik lainnya itu.

Fasilitas teknologi proyek infrastruktur modern sudah ‘mendarat’ di wilayah konservasi itu. Dump truk, alat berat, besi beton dan aneka peralatan canggih lainnya tampak tak kesulitan memasuki area Loh Buaya. Demi dan atas nama investasi dan penataan terhadap kawasan itu, Pempus rela menggelontorkan dana yang fantastis untuk melaksanakan mega-proyek itu.

Celah regulasi dan sisi proseduralisme formal ‘dikredit’ untuk menjustifikasi pelaksanaan kebijakan itu sekaligus ‘membungkam’ suara kritis publik. Telaah analitis-kritis alternatif dari publik yang dari sisi ‘kedekatan’ sangat paham dengan karakter ekologi di kawasan itu, ditolak oleh Pempus.

Mereka lebih memilih hasil kajian dari mereka yang ‘dibayar’ khusus untuk membenarkan program pemerintah itu. Kita hanya mendengar bahwa keputusan itu telah melewati tahapan analisa dampak lingkungan yang entah siapa atau lembaga apa yang melakukannya.

Masyarakat lokal memang terlalu rapuh dan lemah posisi tawarnya. Kendati aset itu menjadi bagian dari ‘ruang hidup’ dan berkontribusi menghidupi masyarakat lokal, tetapi Pempus melalui sekian banyak regulasi menilai ‘paling berhak’ untuk mengatur model dan bentuk fisiknya.

Pempus sepertinya ‘kurang puas’ dengan tampilan asli atau alamiah dari kawasan Loh Buaya itu. Mereka berimajinasi bahwa kondisi Pulau Rinca tidak seperti sekarang ini jika ‘pembangunan bernuansa modern’ diterapkan. Tingkat kunjungan wisatawan ‘pasti’ lebih meningkat sebab Pulau itu sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana (sarpras) yang mewah. Boleh jadi, pesona Rinca kurang moncer sebab selama ini hanya mengandalkan ‘sisi keaslian’ itu. Kondisinya akan berubah drastis jika sisi eksotika natural itu diperkosa secara kreatif.

Pempus juga ingin ‘memberi kado’ kepada binatang Komodo (ikon pariwisata Mabar) dan aneka satwa langkah lainnya sebuah ‘taman nan megah’ agar binatang tersebut tak terlalu ‘stres’ dengan kondisi lingkungannya yang ‘kurang tertata’. Dengan taman itu, kerinduan Komodo untuk mencicipi panorama modern bisa terwujud. Status sebagai ‘binatang purba’ segera ditinggalkan. Tidak lama lagi, dia menjadi binatang yang bisa beradaptasi dengan lingkungan yang modern. Komodo menjadi ‘binatang modern’.

Hari-hari ini, kita ‘terkesima’ menyaksikan sebuah foto berlatar pengerjaan proyek pembangunan geo-park di Pulau Rinca itu. Dalam foto yang yang menjadi viral dan trending topic dalam jugat virtual lokal itu, seekor Komodo tampak berhadap-hadapan dengan satu dump truck. Mungkin karena menggunakan prinsip kehati-hatian seperti yang ditegaskan oleh Kepala BTNK, tidak terjadi ‘duel seru’ antara Komodo dan truck atau sekurang-kurangnya ‘terjadi benturan ringan’.

Foto itu memancing atau menimbulkan beragam tafsiran dari para netizen. Ada banyak yang menilai bahwa Komodo itu ‘tidak nyaman’ dengan kehadiran Truck Pembangunan modern itu. Binatang itu mungkin ‘terkejut’ karena untuk pertama kali dalam hidupnya melihat ‘benda aneh’ itu. Terdorong oleh rasa keterkejutan dan penasaran yang amat dalam, seekor Komodo itu ‘berani’ mendekat. Boleh jadi ‘naluri predatorisnya’ coba dioptimalkan. Namun, rupanya ia tahu diri. Secara fisik Komodo terlalu kecil untuk mengalahkan ‘binatang truk’ yang super besar itu.

Namun, ada juga yang menganggap bahwa Komodo itu mau menjemput dan mengucapkan selamat datang kepada ‘pasukan pembangunan’ itu. Boleh jadi Komodo itu diutus oleh kawanannya untuk memberikan semacam ucapan terima kasih kepada ‘pemilik proyek’ sebab tak lama lagi lingkungan mereka akan berubah total.

Bukan tidak mungkin ‘seluruh anggota kerajaan binatang’ dan tetumbuhan di Rinca akan berpesta pora. Sang penyelamat telah datang. Mereka akan semakin ‘terlindungi’ sebab Sarana geopark itu bakal ‘memisahkan’ mereka dengan manusia. Para pengunjung tidak bisa ‘melihat lebih dekat’ tempat mereka bertelur, kawin, bermain, memburu mangsa dan sebagainya. Dengan itu, kehidupan mereka semakin nyaman, jauh dari gangguan manusia.

Setiap kita mempunyai interpretasi tersendiri terhadap foto tersebut. Tentu, tidak ada yang bisa dijadikan rujukan absolut kira-kira tafsiran mana yang paling benar. Satu yang pasti bahwa proyek pembangunan di Rinca sudah mulai berjalan. Untuk sementara, destinasi wisata itu ‘ditutup’.

Pengangkutan material tentu menggunakan alat berat. Tidak bisa mengandalkan tenaga manusia. Tidak heran jika dump truk, ekskavator dll ‘beroperasi’ secara bebas di Rinca saat ini.

Kita hanya berharap agar ‘mimpi indah’ yang didengungkan pempus terhadap keberlanjutan aktivitas turisme di Rinca bisa terwujud secara optimal. Kita tak punya ‘kuasa’ untuk membendung kemauan politik pempus ini. Pemda dan semua pejabat publik di Mabar hampir pasti ‘tunduk’ di bawah kemauan Pempus ini. Sebagian warga Mabar juga ‘terpikat’ dengan model pembangunan pariwisata super premium ini. Rezim Joko Widodo dipuji sebagai ‘mesias pariwisata’. Apa kata Jakarta, semuanya ditelah oleh daerah.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.