Oleh : Sil Joni *)

Untuk apa kita mengoleksi buku dalam jumlah yang banyak di perpustakaan jika tidak dibaca? Buku-buku itu bukan perabot hiasan di rak-rak perpustakaan, tetapi menu intelektual yang bergizi tinggi untuk disantap. Untuk itu, para pustakawan termasuk birokrat yang bekerja di ruang Kearsipan dan Perpustakaan mesti gencar dan kreatif ‘mengajak’ publik untuk melahap hidangan rohani yang tersaji dalam aneka pustaka bermutu tersebut.

Para petugas perpustakaan Daerah misalnya, harus cerdas mendesain dan mengkreasi ruang dan peluang agar publik tertarik untuk ‘mencicipi’ aroma intelektual dalam lingkungan perpustakaan itu. Tugas mereka tidak hanya sebatas memajang dan menjaga kebersihan buku-buku itu, tetapi mendorong lahirnya budaya literasi melalui serangkaian program yang memungkinkan publik untuk mengoptimalkan fungsi dari perpustakaan tersebut.

Saya berpikir, sudah saatnya ‘Perpustakaan Daerah’ dijadikan ‘lokus persemaian dan penumbuhan benih literasi bagi publik Mabar. Untuk itu, kita mesti pastikan bahwa gedung itu bebas ‘dimasuki’ oleh para ‘pencuri ilmu’. Akses untuk merasakan pesona intelektual dalam ruangan itu mesti dibuka secara lebar dan merata. Biarkan publik dengan leluasa ‘mencuri’ aneka mutiara ilmu pengetahuan.

Seorang teman mengisahkan pengalamannya secara jujur ketika mengunjungi perpustakaan Daerah Mabar. Beliau agak kesal sebab hasratnya untuk membaca di ruang perpustakaan itu terpaksa ‘ditunda’ sebab dirinya belum mempunyai ‘kartu anggota’. Dia sempat berdebat dengan petugas mengapa ‘kartu’ dijadikan tiket untuk menggauli buku-buku tersebut.

Teman itu tiba pada kesimpulan yang frustratif bahwa aturan yang ketat itu membuat orang semakin malas membaca buku di gedung itu. Mungkin pernyataan itu agak berlebihan. Tetapi, poinnya adalah kita menciptakan sistem yang memungkinkan pengunjung bergairah untuk mengunyah stok pustaka berkelas dalam ruangan itu. Kita tidak ingin pelbagai aturan yang diterapkan bisa menghambat atau sekurang-kurangnya mengurangi selera untuk datang ke gedung itu.

Indikator nilai guna dari sebuah perpustakaan itu tidak terlihat dari kemegahan bangunan dan berlimpahnya stok pustaka, tetapi dari tingkat kunjungan dan perubahan mutu hidup tersebab oleh keseringan menekuni aktivitas literasi dalam gedung itu. Pertanyaannya adalah seberapa besar tingkat antusiasme publik (selain pelajar) yang menjadikan Perpustakaan Daerah sebagai destinasi mencari dan mengejar ilmu pengetahuan?

Kondisi fisik buku-buku yang ada di gedung itu bisa dijadikan patokan sederhana untuk menilai ‘tingkat literasi’ di daerah kita. Jika buku-buku yang terpajang di rak-rak perpustakaan itu masih terlihat utuh, bersih, dan indah maka bisa dipastikamn bahwa sebagian besar pustaka itu belum dijamah oleh manusia.

Berdasarkan observasi sepintas saya kemarin, Kamis (15/10/2020), umumnya buku-buku itu masih terlihat cantik dan perawan. Itu berarti mereka yang menggauli buku-buku itu bisa dihitung dengan jari. Membaca buku belum menjadi ‘kebutuhan primer’ dan bagian dari budaya hidup di daerah kita. Sangat disayangkan Negara sudah menyiapkan fasilitas untuk membantu masyarakat dalam mencintai buku. Tetapi, kemauan dan motivasi untuk mengakrabi buku-buku itu begitu lemah.

Dengan sangat ekstrem teman saya di atas menegaskan bahwa ‘dirinya sangat mendukung jika ada publik yang ‘mencuri’ buku-buku itu. Tentu, actus mencuri itu dilihat dalam kerangka menyalurkan minat membaca dan menulis. Artinya, tindakan mencuri buku di perpustakaan ‘bisa dibenarkan’ jika dan hanya jika intensi dan motivasinya untuk mendapat ilmu.

Tentu, kita tidak wajib mengamini pendapat teman tersebut. Tetapi, yang mau disoroti dalam pernyataan itu adalah buku yang menumpuk di perpustakaan baru memiliki makna jika ada sekian banyak warga Mabar yang secara rutin mengonsumsi buku-buku tersebut.

Kita berharap agar daya inovasi dan kreativitas para petugas Perpustakaan Daerah Mabar terus berkembang dalam menggenjot atau mendongkrak budaya baca warga Mabar. Kita menunggu serangkaian program yang berorientasi pada upaya menstimulasi potensi literasi rakyat Mabar. Sebuah kebanggaan jika Perpustakaan Daerah ini menjadi ‘pusat keunggulan’, tempat di mana warga Mabar yang beragam profesi dan status sosial menimba dan mengolah ilmu secara kreatif dan produktif.

*) Penulis adalah pegiat literas.