Oleh : Kadarisman, S.Sos,. M.AP,

Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong

Beberapa hari lalu, saya pribadi menjadi bagian dari ratusan orang hadir ke Pendopo, kompleks kediaman Bupati Kabupaten Tabalong. Saya bukan sekadar hadir, namun menyimak sebuah tema pada backdrop videotron yang terpampang gagah di sana: “Ikhtiar Menyelamatkan Semesta”. Tema itu digunakan secara nasional dan pada syukuran Milad Muhammadiyah ke 111 oleh warga persyarikatan Muhammadiyah se Keabupaten Tabalong.

Mencermati tema tersebut amat memantik hati untuk mengusut spirit ontologis dan aksiologis yang menjadi latar penyelamatan semesta yang mesti diikhtiarkan. Apa yang terjadi dengan semesta saat ini? Mengapa itu terjadi dan bagaimana peran ikhtiar yang mesti dilakukan? Tak cukup memang mengusut keseluruhan aspek tema itu, kecuali hanya sedikit saja.

Dalam hukum kesemestaan semua diciptakan dengan fitrah kebaikan. Itu sebab dunia ini hanya cocok dijadikan ladang amal kebajikan. Tujuan penciptaan manusia juga demikian, yakni untuk menjadi khalifah sebagai pengemban nilai-nilai keilahian di dunia serta menjadikan manusia sadar posisi sekaligus sadar diri bahwa dia sejatinya berstatus sebagai hamba.

Siapapun yang statusnya adalah hamba dari Sang Pencipta, maka di pundaknya dibebankan tugas dan tanggung jawab menjalankan muamalah memanusiakan manusia, meng-ekologiskan alam sebagaimana fungsinya, memuliakan diri demi dan untuk memuliakan orang lain, memperindah kepribadian dan menjadikannya rahmatan lil”alamain untuk semua makhluk Tuhan.

Seorang tokoh Muhammadiyah Kabupaten Tabalong, Yuzan Noor pada milad itu menguraikan, bahwa ikhtiar menyelamatkan semesta dimaksud terkait kepada tiga hal. Pertama pandangan Muhammadiyah terhadap Islam. Kedua karakter dan watak Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid. Ketiga, pandangan Muhammadiyah terkait persoalan multidimensional, kemiskinan, degradasi ekologi, konflik dan lainnya.

Mencermati hal itu, tampaknya ada problem pada praktik subtantif dalam beragama di kehidupan bangsa kita. Ada fakta kehidupan dihadapkan pada cara beragama yang tekstual dimana agama diajarkan hanya sebagai sekadar materi dakwah tak peduli umat membutuhkan hal itu atau tidak.

Beragama tekstual menggiring umat kepada kepribadian yang eklsusif, ortodok dan membuat pendakwah minim keteladanan, pandai menyuarakan ayat Tuhan tetapi kendor dalam mempariktikkan dalam kehiduan sosialnya, sehingga menjebaknya kepada kesalehan spiritualisme dan terlupa bahwa tangga kesalehan vertical mesti melalui tangga kesalehan social.

Beragama mesti ditarik ke dalam kontekstual bertuhan yang tidak dapat kita menutup mata atas terjadinya degradasi ekologis, kemiskinan structural, konflik dan krisis moral yang terjadi di depan mata. Hal ini merupakan kenyataan yang dihadirkan oleh sebab salah kelola negara dari penguasa yang sudah diberikan amanah oleh rakyat.

Fakta – fakta social dan politik bangsa kita sekarang ini mesti menjadi sasaran target yang tidak boleh lepas dari Ikhtiar Menyelamatkan Semesta. Kedaulatan rakyat untuk membuat hukum misalnya, tidak boleh lagi diseludupkan oleh kekuatan kekuasaan karena kepentingan pragmatism berkuasa , apakah untuk diri sendiri, kelompoknya atau baby nepo.

Dakwal bil hal mestilah juga berpolitik bil hal. Penyelematan semesta tak boleh meninggalkan dakwah dan tak boleh juga meninggalkan politik bil hal. Jika tidak maka ikhitar menyelamatkan semesta berjalan parsial, tidak paralel dan imparsial sehingga tidak menciptakan daya dobrak penyelamatan yang lebih signifikan.

Memanusiakan manusia adalah sifat kesemestaan. Memupuk rasa belas kasih, persaudaraan, penghormatan adalah kesemestaan. Mewujudkan keadilan, kesejahteraan yang merata, mempersempit jurang pemisah kaya dan miskin adalah kesemestaan.

Politik moral, politik tanpa curang, konstruktif, edukatif adalah kesemestaan. Praktik kekuasaan taat asas yang dilandaskan pada hukum dan kedaulatan rakyat, adalah kesemestaan. Ekonomi inklusif dan memastikan ekonomi yang hanya berputar di pucuk elit kapitalis dan kekuasaan terdesiminasi ke pelaku ekonomi kelas bawah adalah kesemestaan.

Maka jalan kesemestaan yang mesti pula ditempuh melalui ikhtiar politik kebangsaan yang dimenangkan. Memenangkan siapa dan nilai apa yang kita yakini dalam kontestasi politik merupakan ikhtiar kongkrit.

Mengalahkan kedekatan emosional demi berkiblat pada nilai-nilai kebaikan dalam menentukan pilihan politik juga ikhtiar nyata. Terpaksa menerima uang dan sembako, namun tidak memilih yang memberinya karena pertimbangan moral juga hal-hal penting dalam ikhtiar kesemestaan.

Pada akhirnya ikhtiar menyelamatkan semesta itu kemudian dimulai dari setiap diri kita masing-masing. Beribadah kepada Tuhan dengan baik, namun juga mesti berkemampuan tersenyum tulus ikhlas kepada orang yang tak menyukainya sekalipun. Beramal saleh kepada Tuhan dengan tekun, namun juga bermuamalah dengan insan dengan penuh respek dan memuliakan sekalipun berbeda keyakainan dan iman.

Kesemestaan pada akhirnya mengembalikan kesejatian entitas manusia yang berselaras dengan fitrahnya yang mencintai Tuhan, mencintaai manusia lainnya dan selalu melakukan improvemen dalam gerakkan tajdid.

Maka di tahun politik 2024 kita dihadapkan pada ujian nyata ikhtiar penyelamatan semesesta yang bagaimana kita lakukan?. Setiap orang mesti menanyakan kepada hatinya, sudahkah diri itu berdiri pada seruan moralnya atau terpaksa kalah oleh syahwah sebab pertimbangan emosionalnya dan wani pironya. Memenangkan politik moral adalah kesemestaan.*